Selasa, 28 Juli 2015

Golden Generation Inggris yang Gagal di Piala Dunia 2006


Tim nasional sepakbola Inggris terkenal dengan keunikannya yang ironis. Di tengah berkibarnya liga kebanggaan mereka, English Premier League yang berlangsung ketat dan memiliki klub-klub terbaik di Eropa seperti Manchester United, Arsenal, Chelsea, dan Liverpool, justru timnas Inggris sedang puasa meraih gelar juara. Peristiwa skuad The Three Lions meraih trofi terjadi sudah terlalu lama, yaitu pada Piala Dunia 1966 yang diselenggarakan di negara mereka sendiri. Itupun diraih dengan cara yang agak kontroversial, yaitu ketika gol Geoff Hurst pada extra-time disahkan oleh wasit, padahal bola sepakannya berada dalam posisi 50-50 di garis gawang setelah membentur tiang atas. Inggris pada akhirnya menjungkalkan Jerman Barat 4-2 untuk menjadi juara dunia, yang belum mampu mereka ulangi hingga saat ini.
Kapten Inggris Bobby Moore mengangkat trofi Piala Dunia, yang masih dalam bentuk versi terdahulu, pada tahun 1966

Di tengah rasa frustasi publik Inggris untuk mengulangi kejayaan mereka di masa lampau tersebut, terdapat secercah harapan memasuki millenium baru. Ya, di timnas Inggris bermunculan pemain-pemain hebat, dimana mereka digadang-gadang sebagai golden generation. Para punggawa Inggris di era tersebut banyak meraih kesuksesan dan trofi-trofi serta menjadi tulang punggung di klubnya masing-masing, seperti David Beckham, John Terry, Rio Ferdinand, Frank Lampard, Steven Gerrard, dan lain-lain. Seiring dengan trofi-trofi yang mereka raih di tingkat klub, publik Inggris pun langsung berekspektasi besar dan berharap banyak kepada golden generation Inggris ini untuk dapat juga meraih prestasi di The Three Lions dan mampu merengkuh gelar juara untuk negara mereka. Di timnas, mereka ditangani oleh Sven-Gorran Eriksson, manajer pertama yang berasal dari luar Inggris.
Sven-Gorran Eriksson, manajer timnas Inggris 2001-2006.

Sven-Gorran Eriksson mengawali debut di turnamen resmi bersama Inggris pada ajang Piala Dunia 2002 di Jepang-Korea, dimana Tim Tiga Singa dipercundangi tim yang selanjutnya menjadi jawara, Brazil dengan skor 2-1 pada perempat-final. Lalu pada ajang selanjutnya, Euro 2004 di Portugal, pelatih berkebangsaan Swedia itu juga hanya mampu mengulangi langkah skuadnya di Jepang-Korea, yaitu babak perempat-final. Inggris ditundukkan tuan rumah Portugal melalui adu penalti.
Momen saat David Beckham gagal mengeksekusi penalti pada perempat-final Euro 2004

Setelah kegagalan Euro 2004, Eriksson langsung menatap Piala Dunia 2006 di Jerman. Ia pun berhasil membawa Inggris lolos kualifikasi untuk bertarung di negeri yang sempat terpecah menjadi Jerman Barat dan Timur tersebut. Eriksson tersadar bahwa saat itu dirinya sedang diberi anugerah. Ya, golden generation Inggris yang telah bermunculan dianggap sudah lengkap, matang, cukup mumpuni, dan siap untuk memperebutkan juara dunia. Walhasil, The Three Lions dianggap menjadi salah satu unggulan terkuat pada Piala Dunia 2006. Ekspektasi masyarakat Inggris langsung membumbung tinggi, dan berharap banyak timnas mereka dengan golden generation yang berada di dalamnya, mampu meraih gelar juara dunia yang sudah lama tidak dapat diraih. Di ajang inilah golden generation Inggris telah benar-benar diharapkan meraih kejayaan.
Starting eleven Inggris yang bertabur bintang

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sebenarnya, siapa sajakah golden generation Inggris pada Piala Dunia 2006 ini? Apakah mereka memang cukup kuat? Secara individual mereka memang merupakan pemain-pemain hebat di klub masing-masing. Mari kita lihat satu-persatu starting-eleven terbaik golden generation Inggris dengan formasi 4-4-2 ala Inggris, dilengkapi dengan keterangan umur dan klub pada saat itu.

Kiper

Paul Robinson (26 tahun, Tottenham Hotspur)


Pada saat itu, Paul Robinson adalah kiper utama Tottenham Hotspur. Namun, tanpa mengurangi rasa hormat kepadanya, ia dianggap menjadi titik lemah Inggris pada Piala Dunia 2006. Tetapi Eriksson tetap mempercayai Robinson menjaga gawang The Three Lions, menyingkirkan kiper senior David James dan pemain muda Scott Carson. Eriksson menganggap Robinson sebagai kiper terbaik Inggris saat itu, yang setidaknya lebih baik dibandingkan kompetitor-kompetitor lainnya.

 Bek Kanan

Gary Neville (31, Manchester United)


Gary Neville merupakan salah satu pemain senior yang dibawa Eriksson ke Jerman. Diharapkan pengalamannya yang banyak dapat ditularkan ke pemain-pemain lain. Di klubnya, Manchester United, Neville adalah bek kanan inti yang telah mencicipi banyak trofi seperti EPL, Champions League, Piala FA, dan lain-lain. Neville terkadang juga menjadi kapten United. Ia memiliki kemampuan bertahan dan menyerang yang sama baiknya. Di saat kapten tim David Beckham tidak bermain di atas lapangan, dirinyalah yang menggantikan peran Becks sebagai pemimpin skuad.

 Bek Tengah

Rio Ferdinand (27, Manchester United)


Rio Ferdinand adalah rekan setim Neville di Manchester United yang sama-sama berposisi di lini belakang. Pemain yang direkrut The Red Devils dari Leeds United ini terkenal sebagai bek bertubuh tinggi besar yang tangguh, dan memiliki keunggulan pada ketenangan, marking kepada lawan, duel-duel udara, serta kemampuannya dalam membaca permainan dan arah pergerakan lawan. Di Piala Dunia 2006, ia termasuk salah satu dari beberapa pemain yang selalu dijadikan starter oleh Eriksson.

 John Terry (25, Chelsea)


Bersama Ferdinand, John Terry membangun tembok kokoh yang selalu memastikan gawang Inggris aman dari serangan-serangan lawan. Terry terbang ke Jerman setelah memenangi trofi EPL musim 2005/06 bersama Chelsea. Sebagai bek tengah handal, Terry merupakan bek yang lugas, memiliki tackle yang baik dan tidak kenal kompromi kepada musuh. Selain itu, dirinya juga memiliki jiwa kepemimpinan yang baik. Hal tersebut terbukti oleh ban kapten Chelsea yang disandangnya.

 Bek Kiri

Ashley Cole (25, Chelsea)



Ashley Cole merupakan rekan setim Terry di Chelsea, dan membentuk kombinasi Chelsea dan Manchester United bersama Ferdinand dan Neville di lini belakang Inggris. Cole dikenal memiliki permainan yang agresif dalam bertahan, berani melancarkan tackle ke lawan, dan sangat aktif naik membantu penyerangan timnya. Mantan pemain Arsenal ini sering bahu-membahu bersama sayap kiri dalam membangun serangan dan menyerang ke sisi kanan pertahanan lawan.

Gelandang Kanan

 David Beckham (31, Real Madrid)


Inilah pemain Inggris yang paling banyak mendapatkan sorotan di Piala Dunia 2006. David Beckham adalah kapten dan pemimpin skuad The Three Lions saat bertarung di atas lapangan hijau demi nama Inggris. Becks memiliki kemampuan mengeksekusi bola-bola mati yang menakjubkan. Free-kick dengan gaya khasnya menjadi senjata andalan eks punggawa Manchester United ini dalam membobol gawang lawan. Selain itu, Becks juga mahir dalam melancarkan crossing dan mengambil corner kick, untuk meneror lini belakang lawan lewat udara, yang siap disambut oleh pemain Inggris lainnya.

Gelandang Tengah

Steven Gerrard (26, Liverpool)




Skuad Inggris saat itu memiliki banyak pemain yang terkenal dengan jiwa kepemimpinan. Selain Neville, Terry, dan Beckham, terdapat nama Steven Gerrard. Dirinya merupakan kapten sekaligus ikon Liverpool. Gerrard terkenal sebagai gelandang energik yang kerap mencetak gol melalui tendangan geledeknya. Selain itu, ia memiliki kemampuan passing yang baik, dapat mengatur tempo permainan, sekaligus mampu sesekali menjadi holding midfielder yang menjaga kedalaman tim dan mampu membantu pertahanan.

Frank Lampard (27, Chelsea)




Hanya segelintir tim nasional di dunia yang memiliki duet gelandang sekaliber Gerrard dan Frank Lampard. Lampard memiliki keunggulan sebagai gelandang yang hampir-hampir mirip dengan Gerrard. Gelandang andalan Chelsea ini merupakan gelandang box-to-box yang dapat melepaskan umpan-umpan akurat baik pendek maupun panjang, mengatur tempo permainan seperti Gerrard, dan memberi assist kepada striker. Tidak ketinggalan, Lampard adalah gelandang yang subur, sering mencetak gol dengan shooting kerasnya ataupun positioning dirinya yang terkenal baik dan sering muncul di depan gawang secara tidak terduga.

Eriksson sangat sering menurunkan Lampard dan Gerrard secara bersamaan untuk memperkuat lini tengah dan menciptakan peluang mencetak gol mengingat keduanya merupakan gelandang kreatif serta rajin pula mencetak gol.

Gelandang Kiri

Joe Cole (24, Chelsea)


Selain mengisi posisi gelandang kiri, Joe Cole juga dapat berperan sebagai gelandang kanan dan gelandang serang. Hal tersebut membuatnya menjadi salah satu pemain penting di Chelsea, dan dipercaya Eriksson untuk tampil di Piala Dunia 2006. Gelandang yang bertubuh cukup mungil ini memiliki kecepatan dan kelincahan dalam menyisir sisi lapangan dan cut-inside ke kotak penalti lawan, dibarengi dengan kemampuan mencetak gol yang baik.

Striker

Michael Owen (26, Newcastle United)



Pada Piala Dunia 1998 lalu, Michael Owen yang masih berusia 18 tahun menggemparkan dunia melalui gol solo-run nya ke gawang Argentina. Setelah momen tersebut, dirinya menjadi andalan di klubnya dan timnas Inggris. Owen terkenal sering menggunakan kecepatan dan kelincahannya dalam menembus pertahanan lawan. Ia juga memiliki finishing yang bagus. Meskipun rentan cedera, Owen tetap dibawa Eriksson dan diplot sebagai salah satu dari dua penyerang utama.

Wayne Rooney (20, Manchester United)




Wayne Rooney merupakan 'bocah ajaib' Inggris lainnya yang muncul setelah Owen. Menjelang umur 17 tahun ia sudah mencetak gol di EPL. Wazza sempat memecahkan rekor pencetak gol termuda untuk timnas Inggris dan termuda di ajang Euro 2004. Ia pun menjadi andalan Manchester United setelah The Red Devils merekrutnya dari Everton. Rooney merupakan striker eksplosif yang kreatif dan energik. Kemampuan utama dirinya adalah mengkombinasikan kekuatan fisiknya dengan skill dan teknik mengolah bolanya. Selain itu, Wazza memiliki penyelesaian akhir yang baik.


Selain sebelas pemain diatas, skuad Inggris yang dibawa Eriksson ke Jerman masih memiliki nama-nama mentereng lainnya seperti Owen Hargreaves, Sol Campbell, Peter Crouch, Michael Carrick, dan Jamie Carragher.

Michael Carrick, gelandang yang mempunyai visi bermain yang baik

Striker jangkung Inggris Peter Crouch, yang menjadi andalan dalam serangan melalui umpan lambung


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sebuah skuad yang kuat bukan? Wajar jika publik Inggris saat itu berharap lebih kepada timnas mereka. Suporter The Three Lions sudah sangat rindu dan penasaran akan gelar juara Piala Dunia, yang mungkin sebagian besar dari mereka belum pernah menyaksikan langsung para punggawa The Three Lions mengangkat trofi Piala Dunia, karena sudah sangat lama timnas Inggris meraihnya.
Suporter timnas Inggris yang rindu gelar juara

Namun, yang terjadi di Jerman lagi-lagi tidak sesuai harapan. Penampilan mereka masih kurang memuaskan. Walaupun memiliki kualitas individual yang baik, Inggris tidak mampu bermain baik sebagai sebuah tim yang solid.
Dan sekali lagi mereka keok di perempat-final dengan lawan yang sama pada Euro 2004 kemarin, Portugal. Dengan cara yang sama, adu penalti, yang memang menjadi momok bagi Inggris. Pertandingan tersebut diwarnai oleh insiden kartu merah Wayne Rooney. Rooney harus diusir oleh wasit Horacio Elizondo setelah menginjak bek Portugal, Ricardo Carvalho. Ironisnya, keputusan kartu merah tersebut disinyalir terdapat pengaruh dari winger Portugal dan rekan Rooney di Man. United, Cristiano Ronaldo, yang pada saat itu seolah "memanas-manasi" wasit. Pada babak adu penalti, kiper Portugal, Ricardo mampu menahan tendangan dari Lampard, Gerrard, dan Carragher.
Rooney mendapatkan hadiah kartu merah



Lampard, Gerrard, dan Carragher yang gagal mengeksekusi penalti.

Hal tersebut benar-benar memukul telak publik Inggris yang berekspektasi begitu tinggi terhadap timnas mereka yang diisi oleh para pemain bintang yang berjuluk golden generation. Sven-Gorran Eriksson lantas mendapatkan julukan baru, yaitu 'spesialis perempat-final' karena telah melakukan hattrick dalam membawa The Three Lions ke babak tersebut, yaitu pada Piala Dunia 2002, Euro 2004, dan Piala Dunia 2006. Eriksson pun akhirnya meletakkan jabatannya sebagai manajer timnas Inggris seusai Piala Dunia 2006 berakhir. Musnah sudah perjuangan golden generation Inggris untuk membawa negaranya menjadi juara dunia yang kedua kalinya.



Selasa, 21 Juli 2015

Michael Carrick, (Bukan) Penerus Roy Keane

Michael Carrick, gelandang andalan Manchester United.

Hari Jumat, tanggal 28 Juli 2006 menjadi salah satu hari bersejarah bagi seorang Michael Carrick. Tepat hari ulang-tahun ke 25-nya, tim tempatnya saat itu bermain, Tottenham Hotspur, menyetujui transfer dirinya ke klub besar Inggris, Manchester United. Tiga hari kemudian, dirinyapun telah rampung menyelesaikan kepindahan dirinya setelah menyetujui kesepakatan kontrak dengan The Red Devils. Biaya transfer yang harus dibayarkan United adalah sebesar 18,6 juta Poundsterling.

Carrick tentu langsung berbahagia. Peristiwa hijrahnya pemain berposisi gelandang tersebut ke klub sebesar United, yang memiliki sejarah panjang dan mengkoleksi banyak trofi, merupakan mimpi bagi sebagian besar pesepakbola di dunia.
Carrick saat baru hijrah ke United.

Carrick langsung diberi nomor punggung 16 oleh manajer United, Sir Alex Ferguson. Nomor tersebut bukanlah nomor main-main, karena sebelmnya telah dipakai oleh mantan kapten United yang kharismatik dan memiliki karakter kuat, Roy Keane. Pembelian Carrick pun bermaksud untuk menggantikan Keane, yang memutuskan hijrah dari United. Selanjutnya, beban beratpun langsung menghampiri pemain yang diorbitkan oleh West Ham United ini.
Nomor 16 diberikan ke Carrick

Hingga saat tulisan ini dibuat (Juli 2015), Carrick telah memiliki karier yang cemerlang bersama United. Dirinya telah mempersembahkan lima gelar juara EPL dan trofi Community Shield, serta sebuah trofi Piala Liga, Champions League yang merupakan kejuaraan kasta tertinggi di Eropa, dan FIFA Club World Cup, ajang yang mempertemukan juara pada masing-masing benua.
Carrick telah mengangkat trofi Champions League pada 2008

Namun, di tengah kegemilangan kariernya bersama United, benarkah dirinya merupakan penerus Roy Keane, sang mantan skipper The Red Devils yang terkenal dengan jiwa petarungnya namun dibarengi dengan sifat emosional yang meledak-ledak?
Roy Keane, mantan kapten United

Jawaban yang paling tepat adalah bukan. Carrick mungkin merupakan gelandang yang berposisi sama dengan Keane, yakni gelandang bertahan. Mereka berdua sama-sama bertugas untuk memotong serangan lawan, menjadi back-up bagi bek-bek dibelakangnya, serta menjadi penghubung antara lini belakang dengan lini tengah dan depan. Tetapi, terdapat satu perbedaan jelas antara Carrick dengan Keane. Sebelum menjawab perbedaan itu, mari kita tinjau secara singkat tentang posisi gelandang bertahan.
Posisi natural gelandang bertahan

Gelandang bertahan merupakan pemain yang bertanggung jawab dalam memutus serangan lawan, karena fungsi gelandang bertahan adalah menjadi filter pertama serangan lawan dan menghentikannya sebelum menjadi ancaman bek-bek dibelakangnya. Seorang gelandang bertahan berdiri agak dibelakang gelandang lainnya, dan berada pas di depan bek rekan setimnya. Jika kita membayangkan seorang gelandang bertahan, akan terlintas di pikiran kita adalah pemain beringas, cenderung bermain keras, dan tidak jarang menjadi pengkoleksi kartu dari wasit akibat cara bermainnya yang seringkali kasar. Contoh mudah gelandang bertahan yang terkenal dengan "kesangarannya" adalah Gennaro Gattuso, Edgar Davids, Nigel De Jong, Patrick Vieira, dan Roy Keane sendiri.
Tackle horror Roy Keane yang langsung mengakhiri karier Alf-Inge Haaland


Namun, tidak bagi Michael Carrick. Dirinya memang seorang gelandang bertahan utama United sejak ditinggal Roy Keane. Namun, sifat-sifat yang biasa dimiliki seorang gelandang bertahan nampak tidak ada dalam setiap permainan Carrick. Pemain internasional Inggris ini selalu bersikap tenang selama bermain, tidak suka terpancing emosi, dan jarang bermain kasar terhadap lawannya. Baginya, cara yang paling efektif untuk memutus serangan lawan adalah dengan intercept, yang diawali dengan pengambilan posisi yang tepat untuk menghadang lawan. Tackle, apalagi sliding tackle, merupakan opsi terakhirnya, dan dilakukan jika ia kalah adu lari dengan pemain lawan.
Dalam melakukan tackle, Carrick selalu berhati-hati agar tepat sasaran dan tidak menerima hukuman kartu

Selain itu, Carrick juga merupakan seorang deep-lying playmaker, gelandang yang berposisi agak ke dalam namun bertugas dalam menjaga possesion, mengatur ritme permainan dan mengirimkan umpan-umpan akurat ke depan. Mirip dengan tugas Andrea Pirlo. Rasio umpan suksesnya pun sangat tinggi bahkan tidak jarang menyentuh angka 90% keatas.
Aksi Michael Carrick merebut umpan dari lawan

Mungkin Carrick bukan merupakan sosok yang sama persis dengan Roy Keane, walaupun dirinya berposisi sama dengan Keane dan memakai jersey bernomor punggung 16 warisan dari pemain berkewarganegaraan Irlandia tersebut. Banyak orang yang tidak melihat sama sekali sosok dan jiwa Roy Keane di dalam permainan Carrick.
Namun, untuk menjadi pemain hebat, kita tidak perlu menjadi orang lain. Menjadi seseorang yang berbeda dengan yang lainnya merupakan sesuatu yang menurut saya lebih baik daripada hanya meniru mentah-mentah apa yang menjadi ciri khas orang lain. Dan inilah yang ditunjukkan oleh Carrick, seorang gelandang bertahan yang kalem, tidak beringas maupun bersifat emosional. Jelas, Carrick bukanlah the next Roy Keane, karena dirinya akan menjadi seorang Michael Carrick sendiri, dengan gaya permainan yang khas.



Schweinsteiger, Schneiderlin, dan Sir Alex Ferguson yang Jarang Memperbaiki Lini Tengah

Senin, 13 Juli 2015. Di tengah hiruk pikuk berita dan rumor transfer pemain, semua mata tiba-tiba langsung tertuju kepada raksasa Inggris, Manchester United. Pada hari itu, The Red Devils merampungkan dua pembelian pemain yang keduanya merupakan gelandang. Bintang timnas Jerman Bastian Schweinsteiger, dan gelandang jangkar timnas Prancis, Morgan Schneiderlin secara resmi diperkenalkan sebagai pemain United, yang memboyongnya dari Bayern Munich dan Southampton. Mereka datang setelah United merekrut Memphis Depay dari PSV Eindhoven dan Matteo Darmian, pemain asal Torino.
Schweinsteiger berhasil ditebus dengan harga 14,4 juta Poundsterling, sementara Schneiderlin didapatkan setelah United membayar 24 juta Pounds, dan akan meningkat menjadi 27 juta Pounds (ditambah dengan add-ons pada kesepakatannya).

Morgan Schneiderlin dan Bastian Schweinsteiger saat diperkenalkan sebagai pemain Manchester United

Schweinsteiger merupakan ikon raksasa Jerman dari Bavaria, Bayern Munich. Selama 17 tahun dirinya mengabdi bersama Die Roten, dari pemain akademi hingga menjadi key-player di skuad utama. Schweini telah memenangi berbagai macam trofi bersama Bayern. Ia sudah meraih gelar juara kasta liga tertinggi di Jerman, Bundesliga selama delapan kali. Selain itu, Schweini telah mengangkat trofi DFB Pokal sebanyak tujuh kali, dan sekali merengkuh piala ajang paling bergengsi di Eropa, Champions League. Di timnas Jerman, gelandang yang lahir pada 1 Agustus 1984 ini menjadi motor lini tengah Der Panzer dan telah membawa negaranya menjadi juara dunia pada gelaran Piala Dunia 2014 di Brazil.
Schweini terkenal sebagai gelandang yang memiliki mobilitas yang tinggi, dibarengi dengan tenaga kuda dan energi yang seakan tak pernah habis. Selain itu, Fußballgott -julukan Schweini- juga terkenal dengan kemampuan passing yang baik, dapat membaca permainan dan mengatur tempo, serta mempunyai kemampuan mencetak gol dengan shooting jarak jauh yang keras dan positioning yang bagus. Schweini memiliki kemampuan yang sangat lengkap sebagai midfielder kelas dunia. Ia dianggap sebagai salah satu gelandang Jerman terbaik sepanjang masa.
Schweinsteiger telah merasakan kesuksesan menjadi juara dunia bersama Timnas Jerman

Sementara itu, Schneiderlin telah menjadi andalan utama Southampton sejak tahun 2008, saat ia masih berumur 18 tahun. Bersama The Saints, ia memulai karier di Inggris dari kasta Championship Division, dan bahkan semusim kemudian terdegradasi ke League One. Namun, dirinya bersama punggawa-punggawa Soton lainnya bahu-membahu mengangkat klub rival abadi Portsmouth itu, dan berhasil promosi ke Premier League musim 2012/2013. Di EPL, Schneiderlin menjadi salah satu andalan utama Soton dalam mengarungi kerasnya liga, dan membuat Soton menjadi salah satu tim kuda hitam dan sering menyulitkan tim-tim besar.
Schneiderlin merupakan gelandang jangkar yang memiliki kemampuan bertahan yang baik, seperti tackle, intercept, dan kemampuan membaca permainan lawan. Dirinya sangat mumpuni dalam berduel dengan gelandang dan striker lawan yang mencoba menyerang. Schneiderlin dipercaya dapat menjadi pengganti Michael Carrick yang mulai menua dan kerap diterjang masalah cedera.
Scheniderlin setelah mencetak gol saat menjamu United, musim 2012-2013

Kedatangan Schweinsteiger dan Schneiderlin memperkuat sektor gelandang tengah United, yang telah memiliki Michael Carrick, Marouane Fellaini, Ander Herrera, dan Daley Blind yang sering dimainkan di tengah. Louis van Gaal benar-benar serius ingin menambal lini tengah The Red Devils, yang akan bermain di banyak kompetisi di musim 2015/2016 dan sang meneer juga menargetkan untuk memenangi trofi bersama United.
Ander Herrera akan berusaha mempertahankan posisinya sebagai gelandang utama United

Berbicara tentang pembenahan sektor gelandang United, Van Gaal memang telah berusaha melakukannya. Musim 2014/2015 lalu saja, manajer yang terkenal dengan filosofinya ini sudah menambahkan Herrera dan Blind untuk mengisi slot gelandang tengah tim tersukses di liga Inggris tersebut. Melihat apa yang dilakukan Van Gaal dalam memperbaiki lini tengah United, saya langsung mengingat-ingat apa yang dilakukan Sir Alex Ferguson sejak musim 2007/2008 hingga pensiun musim 2012/2013. Ya, sadar atau tidak, Fergie jarang memperbaiki lini tengah The Red Devils.
Sir Alex Ferguson yang telah memberikan banyak trofi untuk United

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Di musim 2006/2007, Ferguson merekrut gelandang Inggris Michael Carrick dari Tottenham Hotspur dengan harga 18,6 juta Pounds, dan diproyeksikan sebagai gelandang pengganti kapten Roy Keane yang memutuskan hijrah. Semusim kemudian, manager asal Skotlandia ini memboyong dua orang gelandang, yaitu Anderson dari FC Porto dan Owen Hargreaves dari Bayern Munich.
Anderson, salah satu pembelian Fergie musim 2007/2008

Namun setelah musim-musim berikutnya, entah apa yang dipikirkan Fergie, ia sangat jarang membeli gelandang baru untuk memperkuat lini tengah, dari tahun 2008 hingga pensiun pada 2013. Dari tahun ke tahun tersebut, United hanya mengandalkan nama-nama yang sudah ada seperti Paul Scholes, Darren Fletcher, Michael Carrick, dan Anderson. Fergie juga beberapa kali mempromosikan pemain muda United ke skuad utama seperti Darron Gibson, Tom Cleverley, dan lainnya. Bahkan, pemain-pemain yang memiliki posisi asli bukan gelandang seperti Phil Jones, Park Ji-Sung, Ryan Giggs, dan Wayne Rooney kerap dimainkan di lini tengah.
Rooney, Giggs, dan Park yang kerap dijadikan gelandang oleh Fergie

Dari tiga pembelian gelandang yang dilakukan Fergie pada musim 2006/07 dan 2007/08, mungkin hanya Carrick saja yang tergolong sukses dan konsisten menjadi pemain andalan hingga sekarang. Sementara Anderson, setiap musim pada awalnya selalu digadang-gadang akan menjadi pemain penting. Namun seiring berjalannya musim, Anderson tetaplah tampil mengecewakan dan ujung-ujungnya menjadi penghangat bangku cadangan. Pada akhirnya ia dilepas Van Gaal ke Internacional, klub Brazil yang merupakan kampung halamannya. Hargreaves memiliki nasib yang lebih sial. Ia memiliki masalah yang serius dengan cederanya yang parah sehingga dalam empat tahun kariernya di United, ia hanya diturunkan selama 27 kali. Di tahun 2011 dirinya dilepas secara gratis oleh United.
Owen Hargreaves yang sangat akrab dengan cedera

Di tengah permasalahan pada lini tengah United, pada akhir musim 2011/2012 Fergie justru melepas Paul Pogba, gelandang muda potensial United ke Juventus secara gratis, karena tidak memperpanjang kontraknya. Fergie menyatakan ia memiliki masalah dengan Pogba karena sikap dan perilakunya, sementara Pogba berkilah bahwa ia tidak diberikan kesempatan oleh Fergie.
Pada saat melawan Blackburn Rovers di EPL pada 31 Desember 2011, Pogba menyatakan siap diturunkan kepada Fergie, dimana saat itu United dilanda badai cedera. Di pertandingan tersebut, Fergie malah menurunkan duet Park Ji-Sung dan Rafael (seorang bek kanan) di lini tengah. Hasilnya, United menyerah 2-3 pada The Rovers di kandang sendiri, di hari ulang tahun Fergie yang ke-70. Di tengah musim, alih-alih memanfaatkan Pogba, Fergie malah memanggil kembali Paul Scholes dari masa pensiunnya. Pogba pun geram dan pada akhir musim memutuskan hijrah ke Italia. Disana, bersama Juventus ia langsung memenangi Serie-A selama tiga musim beruturt-turut.
Paul Pogba, memiliki masalah dengan Fergie dan akhirnya hijrah ke Juventus

Sebenarnya, pada musim 2012/2013 yang menjadi musim terakhir Fergie, United membeli dua gelandang, yaitu pemain muda Inggris dari Crewe Alexandra Nick Powell dan bintang Borussia Dortmund dan timnas Jepang Shinji Kagawa. Namun Powell hanya digunakan sebagai pelapis dan lebih sering dipinjamkan ke klub-klub lain.
Sementara Kagawa sempat digadang-gadang sebagai the missing piece dalam skuad Fergie. Dirinya merupakan gelandang serang dengan visi bermain dan teknik yang bagus. Tetapi ia ditakdirkan tidak pernah bahagia di United. Bersama Fergie dan David Moyes, Kagawa yang biasa bermain di belakang striker kerap diturunkan sebagai pemain sayap. Tentu sang pemain asal Jepang tersebut tidak cocok dengan posisi barunya dan ia pun gagal mengeluarkan potensi terbaiknya untuk United. Pada akhirnya Kagawa hanya bertahan dua musim bersama United, dan dirinya memutuskan kembali ke Borussia Dortmund di awal musim 2014/2015.
Shinji Kagawa gagal mengeluarkan potensi terbaiknya bersama United

Ajaibnya, dari enam musim terakhirnya bersama United, Fergie berhasil merengkuh gelar juara EPL sebanyak empat kali, dengan stok gelandang yang "ala kadarnya". Namun, lini tengah United-pun menjadi bom waktu bagi penerusnya. Fergie mewariskan gelandang-gelandang "seadanya" kepada David Moyes, pengganti pertamanya pada musim 2013/2014.
Manajer yang direkrut dari Everton ini mungkin ingin memperbaiki lini tengah United, apalagi Paul Scholes telah pensiun. Namun, di sisi lain ia gagal di bursa transfer dengan hanya memboyong anak asuhnya di The Toffees Marouane Fellaini. Fellaini dan Moyes pun terseok-seok di United. Moyes akhirnya memboyong gelandang serang Chelsea, Juan Mata pada bursa transfer musim dingin. Tetapi pembelian Mata tersebut tidak serta merta menyelamatkan Moyes yang akhirnya dipecat oleh United sebelum musim 2013/14 berakhir. Pada musim itu, United memiliki Fellaini, Carrick, Fletcher, Kagawa, Cleverley, dan Anderson di lini tengah, serta gelandang "dadakan" Giggs dan Rooney.
David Moyes yang mendatangkan awan kelabu di United

Untungnya, permasalahan lini tengah United telah tercium oleh Louis Van Gaal. Sebagian gelandang-gelandang yang saat itu dimiliki The Red Devils dinilai olehnya tidak dapat djadikan andalan untuk bersaing lagi dengan tim-tim besar, dan tidak cocok dengan filosofinya. Cleverley, Anderson, Fletcher, dan Kagawa segera ditendang oleh mantan manajer klub Ajax, Barcelona, AZ Alkmaar dan Bayern Munich tersebut. Dengan nama besarnya sebagai manajer dan kemampuan melakukan transfer pemain yang baik, Van Gaal berhasil memboyong Herrera dan Blind di musim pertamanya, serta Schweinsteiger dan Schneiderlin pada musim keduanya. United juga masih memiliki playmaker kreatif Juan Mata yang memiliki kerjasama yang baik dengan Herrera, Fellaini yang tangguh dalam duel-duel bola atas, dan Carrick yang merupakan holding midfielder sekaligus deep-lying playmaker dan pengatur tempo permainan. Komposisi gelandang yang cukup lengkap.

Dari Cleverley ke Schweinsteiger



------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kebiasaan Sir Alex Ferguson setiap musim yang jarang memperbaiki sektor gelandang Manchester United menjadi bom waktu, karena tidak akan ada satu orangpun yang mampu menjuarai EPL dengan pemain-pemain seperti Tom Cleverley dan Anderson di lini tengah selain Fergie. Oleh karena itu, segera bersyukurlah bahwa Louis Van Gaal telah mendepak keduanya, dan menggantikannya dengan Bastian Schweinsteiger, seorang juara dunia yang telah meraih banyak trofi, dan Morgan Schneiderlin, gelandang jangkar tangguh.
Apakah gebrakan tersebut dapat memberikan trofi untuk United, kita tunggu saja pada musim 2015/2016. Yang jelas, Van Gaal sedang berusaha memperbaiki sektor gelandang United, sesuatu yang jarang dilakukan Fergie. Lini tengah The Red Devils saat ini terlihat lebih "berkelas" di bawah asuhan Van Gaal, dibandingkan saat dilatih Fergie.

Louis Van Gaal yang berhasil reuni dengan Bastian Schweinsteiger di Manchester United



Selasa, 14 Juli 2015

Filosofi Louis Van Gaal di Manchester United.

Filosofi. Sebuah kata yang memiliki arti kurang lebih adalah pola berpikir manusia atau prinsip hidup yang dipegang teguh oleh manusia. Mungkin terkesan sangat kaku dalam bayangan kita, namun menurut sebagian orang, untuk apa hidup jika tanpa memegang filosofi. Hal tersebutlah yang membuat dunia menjadi lebih teratur dan indah, menurut mereka. Dalam sejarah, nama-nama seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles dari Yunani merupakan orang-orang yang terkenal akan pemikiran dan filosofi mereka.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Berbicara tentang filosofi pada sepakbola, mungkin pikiran kita akan tertuju kepada satu orang ini.
Louis Van Gaal dengan ekspresinya yang khas

Aloysius Paulus Maria Van Gaal, atau lebih dikenal dengan nama Louis Van Gaal. Orang yang memiliki wajah agak 'bengis' dan ekspresi yang terkesan mengintimidasi ini sering sekali menyebut-nyebut tentang filosofi bermain yang ia terapkan selama menjadi manajer, termasuk pada klub yang sekarang ditangani, Manchester United.

Sebelum diangkat menjadi manajer The Red Devils, Van Gaal merupakan pelatih yang cukup sukses dan disegani di dunia persepakbolaan Eropa dan dunia. Ia tercatat pernah melatih tim-tim raksasa seperti Ajax Amsterdam, Barcelona, dan Bayern Munich, dan berhasil memenangkan banyak gelar bersama mereka. Dengan Ajax, 3 gelar juara Eredivisie, dan sebuah trofi KNVB Cup, UEFA Cup, dan trofi paling bergengsi di Eropa, UEFA Champions League berhasil diraihnya. Di Spanyol, Van Gaal memimpin Barcelona memenangkan 2 gelar juara La Liga dan sebuah trofi Copa Del Rey. Saat mengadu nasib ke Jerman dengan menukangi Bayern Munich, pelatih kelahiran Amsterdam, 8 Agustus 1951 ini berhasil memberikan double winners di musim pertamanya, yaitu trofi Bundesliga dan DFB Pokal. Bahkan bersama AZ Alkmaar yang tidak terlalu diperhitungkan di Belanda, secara tidak terduga ia menggondol sebuah trofi Eredivisie.
Van Gaal mengangkat trofi Champions League bersama Ajax, 1995


Van Gaal pun tercatat pernah 2 kali menukangi tim nasional Belanda. Namun pada periode pertamanya (2000-2002), ia menorehkan sebuah noda bagi De Oranje. Van Gaal gagal meloloskan Belanda ke Piala Dunia 2002 di Jepang-Korea Selatan untuk pertama kalinya sejak tahun 1986. Ia mencoba menebus kegagalannya dengan kembali menahkodai Belanda pada tahun 2012 sampai 2014 menggantikan Bert Van Marwijk, yang gagal membawa Belanda lolos babak grup saat EURO 2012. Van Gaal langsung meloloskan Belanda ke Piala Dunia 2014 di Brazil. Sebenarnya Belanda tidak terlalu diunggulkan pada Piala Dunia, karena Van Gaal telah merombak skuad tua Belanda warisan Van Marwijk dengan muka-muka baru pilihannya. Diluar dugaan, Belanda menghajar juara bertahan Spanyol 5-1 pada babak grup, dan melaju ke Semifinal, sebelum kalah adu penalty dengan Argentina. Akhirnya, skuad asuhan Van Gaal mampu menduduki peringkat ketiga setelah mengalahkan tuan rumah Brazil 3-0.
Van Gaal merayakan gol pertama Robin van Persie, saat Belanda menghancurkan Spanyol 5-1

Selepas Piala Dunia 2014, Van Gaal langsung menuju Manchester untuk menandatangani kontak selama tiga tahun untuk melatih United, menggantikan David Moyes yang mengecewakan pada musim sebelumnya.
Van Gaal  bersama Ed Woodward, executive vice-chairman United

Selama menahkodai United, Van Gaal didampingi oleh legenda hidup The Red Devils, Ryan Giggs, yang menjabat sebagai asisten manajer baru sesaat setelah pensiun musim 2013-2014, dan membawa staff-staffnya sendiri yaitu Marcel Bout (pelatih tim utama dan opposition scout), Albert Stuivenberg (pelatih tim utama), dan Frans Hoek (pelatih kiper).
Louis Van Gaal bersama asistennya sekaligus legenda United, Ryan Giggs
Disinilah era baru dimulai. Para suporter Manchester United langsung menaruh harapan besar di pundak Van Gaal untuk dapat meraih prestasi bagi United dan mengulangi kejayaan yang telah diukir oleh manajer legendaris Sir Alex Ferguson.
Sir Alex Ferguson, pelatih legendaris yang telah mempersembahkan segudang trofi untuk United
Disisi lain, mereka harus mulai membiasakan dengan gaya melatih Van Gaal, yang merupakan manajer United pertama yang berasal dari luar Britania Raya dan Irlandia. Pelatih yang suka membawa buku catatan taktiknya selama pertandingan ini pun mulai menancapkan filosofinya ke dalam klub paling sukses di Inggris dengan 20 gelar Liga Inggris ini.
Van Gaal yang senang membawa buku catatan taktiknya
Mari kita bahas satu-persatu apa saja filosofi yang diterapkan Van Gaal di United


       1. Total Football ala Van Gaal (Penguasaan bola dan Pemain Versatile).

Belanda terkenal dengan ciri permainan khas mereka, Total Football. Pemain harus dapat memainkan bola dengan baik, mengatur tempo permainan, menjaga penguasaan bola, agresif dalam menyerang, mampu membuka ruang, dan mengisi beberapa posisi. Inilah yang Van Gaal inginkan kepada skuad Manchester United. Hal ini tercermin dari statistik ball-possession United yang sangat tinggi hampir di setiap match musim 2014-2015, dengan rata-rata mencapai 61%.
Bahkan saat kalah melawan Chelsea di kandang mereka, United mencatatkan 71% ball-possesion
Van Gaal menginginkan bek yang berperan bukan hanya sebagai seseorang yang bertanggung jawab menjaga pertahanan saja, tetapi juga mampu berperan sebagai ball-playing defender yang mampu menjaga possesion, dan menginisasi serangan awal dari belakang. Striker pun dituntut untuk lebih mobile, membuka ruang bagi pemain lain, dan mengirimkan umpan-umpan berbahaya kepada gelandang serang dan sayap yang maju kedepan. Gelandang di tengah harus memiliki inteligensia yang tinggi dalam berbagai aspek penyerangan (passing, pergerakan, dan lain-lain), serta mampu bertahan dan melakukan pressing saat lawan menguasai bola.
Gelandang seperti Ander Herrera (tengah) cocok untuk filosofi Van Gaal
Para pemain versatile atau dapat bermain di banyak posisi pun sangat disukai Van Gaal, karena pemain tersebut mampu memahami posisi selain posisi naturalnya, sehingga dinilai mampu membuka ruang ke posisi lain dengan lebih baik, dan dapat dipindahkan posisinya di tengah-tengah pertandingan atau dalam keadaan darurat. Pada musim perdananya, banyak pemain yang kerap diturunkan Van Gaal yang merupakan pemain versatile, contohnya:
  • Daley Blind mampu menjadi bek kiri dan gelandang bertahan.
  • Wayne Rooney, striker yang sering dimainkan sebagai gelandang.
  • Michael Carrick selain menjadi gelandang bertahan, juga kerap menjadi bek tengah.
  • Juan Mata dan Angel Di Maria, dapat berperan menjadi winger kiri, kanan, dan gelandang serang.
  • Marcos Rojo dan Tyler Blackett bisa diturunkan sebagai bek tengah atau full-back kiri.
  • Paddy McNair, seorang bek tengah yang pernah sesekali menjadi full-back kanan, juga mahir sebagai gelandang bertahan.
Van Gaal pun juga menemukan bahwa Antonio Valencia dan Ashley Young, yang notabene adalah winger kanan dan kiri, dapat bermain sebagai wing-back kanan dan kiri pada formasi 3-5-2.
Ashley Young, terlahir kembali
Pemain yang hanya mampu bermain pada satu posisi pun perlahan tersingkir, seperti Javier Hernandez dan Nani yang dipinjamkan ke Real Madrid dan Sporting Lisbon, serta Darren Fletcher dan Anderson yang dilepas ke West Brom dan Internacional.
Daley Blind sangat disukai Van Gaal


       2. Keras kepala dalam menentukan formasi (terkadang tidak berlaku)

Van Gaal adalah orang yang sangat teguh untuk memegang apa yang dianggapnya benar. Selama melatih, jarang sekali ia mengubah formasi yang ia anggap pas untuk menjalankan gaya bermainnya, walaupun terkadang dirinya mendapatkan kritik dari berbagai pihak, termasuk suporter. Mempertahankan formasi tanpa peduli akan gaya bermain lawan adalah ciri khas Van Gaal. Namun, di beberapa momen pada musim 2014-2015 bersama United, Van Gaal terkadang mengubah formasi, hal yang bukan menjadi kebiasaannya. Berikut momen-momen pergantian formasi tersebut:
  • United memainkan 3-5-2 dari pra-musim hingga beberapa pertandingan awal EPL. Tetapi, pada tiga pertandingan awal EPL The Red Devils gagal meraih kemenangan (kalah 1-2 dari Swansea, ditahan imbang 1-1 dan 0-0 melawan Sunderland dan Burnley). Van Gaal pun mengubah formasi dari 3-5-2 menjadi 4-4-2 diamond saat melawan QPR di Old Trafford. United akhirnya mampu tampil atraktif dan menang 4-0.
4-4-2 diamond.
  • Arsenal menunggu kedatangan United di Emirates. United sedang mengalami badai cedera, sehingga memaksa Van Gaal untuk kembali memainkan formasi 3-5-2 demi mengakomodir ketersediaan skuad yang terbatas. Pada pertandingan tersebut ternyata United mampu memukul Arsenal 2-1. Selanjutnya, formasi 3-5-2 terus menerus dipakai hingga awal paruh kedua musim 2014-2015, yang menghasilkan 10 pertandingan tanpa kekalahan. Oleh beberapa pihak, ia pun mulai dianggap kaku dengan terus-menerus mempertahankan formasi ini.
3-5-2
  • Akhirnya Van Gaal dapat luluh juga. Formasi 3-5-2 dianggap oleh para suporter dan pengamat sepakbola seperti legenda United, Gary Neville dan Paul Scholes, sebagai formasi yang tidak cocok untuk The Red Devils. Mereka menganggap formasi tersebut hanya untuk cari aman, tidak untuk bermain menyerang total, kurang agresif, dan tak sesuai dengan jiwa United. Apalagi pada pertandingan melawan Southampton di Old Trafford dimana United takluk 0-1, skuad Van Gaal tidak mampu mencatat satu shoot on target pun ke gawang The Saints. Lalu pada pertandingan berikutnya, bertandang ke QPR, Van Gaal masih keukeuh memakai 3-5-2, dan ditahan imbang 0-0 di babak pertama. Pada babak kedua, Van Gaal seakan mendengar desakan suporter, Neville, dan Scholes. Ia mengubah formasi menjadi 4-4-2 diamond, dan mampu memukul QPR 2-0. Van Gaal pun mulai memakai kembali 4-4-2 diamond pada pertandingan-pertandingan selanjutnya.
Pergantian 3-5-2 ke 4-4-2 diamond ditandai oleh gol Marouane Fellaini.
  • Suatu ketika, United tersingkir dari FA Cup setelah kalah dari Arsenal 1-2 di kandang sendiri. Van Gaal merasa formasi 4-4-2 diamond kurang memiliki keseimbangan yang baik, sehingga United mudah diserang oleh lawan. Ia pun langsung memodifikasi formasi empat bek tersebut menjadi 4-1-4-1. Hasilnya, United mampu menjungkalkan Tottenham 3-0, mempermalukan rival abadi mereka, Liverpool di Anfield 2-1, membungkam Aston Villa 3-1, dan memukul rival sekota mereka, Manchester City, pada derby Manchester di Old Trafford dengan skor 4-2. Formasi ini pun bertahan hingga akhir musim.
Juan Mata mencetak gol spektakuler di kandang Liverpool, saat United memakai 4-1-4-1.


       3. Berani menurunkan para pemain muda

Pada awal musimnya bersama United, Van Gaal langsung mendaratkan total 6 pemain baru untuk memperkuat skuad, yaitu Luke Shaw, Ander Herrera, Marcos Rojo, Angel Di Maria, Daley Blind, dan Radamel Falcao (status pinjaman).

Angel Di Maria, pembelian termahal Van Gaal seharga 59,7 juta Pounds yang memecahkan rekor di Inggris.

Hal itu memicu kekhawatiran beberapa pihak, seperti mantan asisten pelatih United pada era Ferguson, Mike Phelan, bahwa The Red Devils akan kehilangan identitas asli mereka dan jarang memainkan pemain-pemain muda. Hal tersebut terlihat saat Danny Welbeck, seorang pemain asli dari Manchester, dilego ke rival United, Arsenal.

Danny Welbeck harus hengkang ke Arsenal dengan harga 16 juta Pounds

Namun, seperti yang kita ketahui bersama, dari awal sosok Van Gaal memang merupakan pelatih yang sangat menyukai menurunkan pemain-pemain muda dan asli akademi di timnya, terutama pada saat ia melatih klub-klub besar.
  • Di Ajax, ia tidak ragu untuk menjadikan pemain-pemain asli dari akademi, yaitu Patrick Kluivert, Clarence Seedorf, Edwin van Der Sar, Frank dan Ronald De Boer, Edgar Davids, dan Michael Reiziger sebagai pemain penting bagi klub.
Starting XI Ajax saat final Champions League 1995. Penuh dengan pemain akademi
  • Saat melatih Barcelona, ia tak ragu untuk memberikan debut kepada Carles Puyol, Xavi Hernandez, Andres Iniesta, dan Victor Valdes. Kelak, mereka menjadi pemain krusial yang membantu Azulgrana meraih berbagai macam trofi, seperti La Liga, Copa Del Rey, Champions League, dan sebagainya. Kuartet ini juga menjadi tulang punggung timnas Spanyol yang menjuarai Piala Dunia 2010, dan EURO 2008 dan 2012.
Puyol, Xavi, Valdes, dan Iniesta bersama trofi Copa Del Rey, Champions League, dan La Liga.
  • Pun pada saat ia menukangi Bayern Munich. Thomas Muller, Holger Badstuber, Toni Kroos, dan David Alaba merupakan pemain-pemain muda yang diberi kepercayaan oleh Van Gaal untuk menjadi pemain inti Die Roten. Sekarang, mereka telah menjadi pemain kelas dunia dan menjadi komponen inti di klub dan timnas masing-masing.
Muller dan Kroos, menjadi andalan di timnas Jerman
  • Bahkan saat menjadi pelatih tim nasional Belanda tahun 2012 sampai 2014, ia berani menyingkirkan banyak pemain-pemain tua untuk digantikan nama-nama baru seperti Daley Blind, Jasper Cillesen, Stefan De Vrij, Bruno Martins Indi, Memphis Depay, Daryl Janmaat, dan lain-lain. Para pemain ini pun turut sukses membawa De Oranje menjadi peringkat ketiga pada Piala Dunia 2014 di Brazil.
Starting line up Belanda saat membantai Spanyol 5-1 di Piala Dunia 2014

Hal ini ternyata diulangi di tim barunya, Manchester United. Di tengah skuad tim utama yang sesak ditambah dengan enam pemain barunya, Van Gaal justru telah memberikan debut bagi para pemain muda dari akademi United.
Yang paling sering didengar tentu adalah Paddy McNair dan Tyler Blackett. Kedua bek tengah ini sering diturunkan di posisi sentral pertahanan United, bersama dengan Chris Smalling, Phil Jones, dan Marcos Rojo yang lebih senior.
Paddy McNair, pemain yang memulai debut saat United menjamu West Ham
Striker muda James Wilson pun terkadang diturunkan untuk mengisi sektor depan. Wilson bahkan pernah dijadikan starter mendampingi Robin van Persie saat United menjamu Liverpool, menyingkirkan nama mentereng Radamel Falcao yang harus duduk di bench.
James Wilson setelah mencetak gol melawan QPR pada ajang EPL
Nama-nama seperti Andreas Pereira, Jesse Lingard, Tom Thorpe, Saidi Janko, dan Reece James juga pernah mencicipi rasanya diturunkan di tim utama dibawah Van Gaal pada musim 2014-2015.
Andreas Pereira (kanan), pemain muda potensial milik United dari Brazil

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lantas, dengan ketiga filosofi diatas yang diterapkan Van Gaal pada United, pada akhirnya Manchester United mengakhiri EPL dengan berada di posisi 4, yang artinya lolos ke Champions League musim depan. Hal ini lebih baik dibandingkan capaian Moyes menghancurkan The Red Devils sehingga terperosok ke peringkat 7. Namun, bagi sebagian pihak, capaian Van Gaal di musim pertamanya ini belumlah cukup. Apalagi, United gagal meraih satu trofi-pun di musim 2014-2015.
Louis Van Gaal memberikan pidato saat pertandingan kandang terakhir musim 2014-2015
Apakah Manchester United akan meraih gelar juara pada musim 2015-2016? Louis Van Gaal berharap dengan filosofi yang telah diterapkan selama semusim penuh, para pemain dapat memahami dan menjalankannya dengan baik. Ia percaya jika para pemain dapat sepenuhnya bermain dengan filosofinya di setiap pertandingan, trofi-trofi akan datang dengan sendirinya.

Van Gaal juga akan memanfaatkan transfer window yang sedang berlangsung untuk memperkuat skuad. Sejauh ini, tidak tanggung-tanggung ia telah mendapatkan wonder kid Belanda dari PSV Eindhoven Memphis Depay, ikon Bayern Munich dan timnas Jerman Bastian Schweinsteiger, bek kanan andalan timnas Italia dan Torino Matteo Darmian, dan gelandang jangkar timnas Prancis dan Southampton Morgan Schneiderlin. Mungkin hingga saat ini Van Gaal juga sedang memantau beberapa pemain yang diinginkannya untuk direkrut. Kita tunggu saja pergerakannya pada bursa transfer.

Wayne Rooney, tentu ingin mengangkat trofi pertamanya sebagai kapten baru Manchester United

Apapun hal yang dilakukan sang meneer Van Gaal, yang jelas para suporter Manchester United telah merindukan gelar juara yang banyak diraih pada saat kepemimpinan Sir Alex Ferguson.
Van Gaal berharap momen seperti ini terulang di Manchester United, demikian pula suporter United