Jumat, 01 Januari 2016

Apakah Fondasi Tim Warisan dari Sir Alex Ferguson Rapuh?

Bagi Manchester United beserta para suporternya, Sir Alexander Chapman Ferguson, CBE bukanlah sekedar pelatih yang pernah sukses bersama mereka. Fergie merupakan dewa bagi The Red Devils, dimana dirinya telah membawa nama United menggeser Liverpool dari singgasana raja Liga Inggris yang telah bertahan cukup lama. Selain itu, Fergie juga telah membawa United menaklukan Eropa sebanyak dua kali melalui gelar juara Liga Champions. Total sebanyak 49 trofi telah dipersembahkan pria asal Glasgow, Skotlandia ini kepada United selama pengabdiannya dari tahun 1986 hingga 2013. Seiring dengan bergelimangnya gelar yang diraih, secara otomatis United pun menjelma menjadi salah satu klub yang disegani di Eropa, bersama klub-klub seperti Real Madrid, Barcelona, AC Milan, dan Bayern Munich. United menjadi semakin banyak didukung oleh fans-fans seantero bumi, sekaligus mendatangkan keuntungan yang besar sebagai brand yang sudah mendunia.
Sir Alex Ferguson bersama Manchester United memenangi Liga Champions 1998/1999 melalui cara yang dramatis.

Musim 2012-2013 tak disangka-sangka menjadi musim terakhir pengabdian Sir Alex Ferguson kepada United. Begitu mendadak kabar buruk tersebut tersiar, banyak yang tak percaya. Hal tersebut terjadi karena orang-orang telah menduga bahwa Fergie tidak akan meninggalkan Old Trafford dalam waktu dekat, melihat determinasinya selama mendampingi skuadnya menjalani pertandingan, dan gelagatnya yang masih haus akan gelar dan kejayaan bersama United, walaupun baru saja The Red Devils memenangkan gelar juara Liga Inggris ke-20. Namun sebuah keputusan telah diambil. Pada akhirnya, para suporter United harus menjalani sesuatu yang mereka pun takut untuk membayangkannya, yaitu Manchester United tanpa Sir Alex Ferguson.
Fergie mengangkat trofi EPL terakhirnya di musim 2012/2013.

Hingga kini, Manchester United masih kesulitan untuk mengulangi kejayaan kembali seperti pada masa ditangani oleh Fergie. Mulai dari penggantinya yang pertama, David Moyes yang digaet dari Everton, hingga sekarang yaitu pelatih yang memiliki pengalaman panjang di level teratas sekaliber Louis Van Gaal.
David Moyes, gagal total bersama United.

Khusus untuk Van Gaal, ekspektasi suporter terhadap pria Belanda yang terkenal dengan filosofi sepakbolanya ini sangat tinggi mengingat CV-nya yang mentereng, yaitu pernah dipercaya menukangi tim-tim besar seperti Ajax Amsterdam, Barcelona, dan Bayern Munich serta meraih berbagai trofi bersama mereka. Apalagi melihat kiprah Sang Tulip Besi bersama tim nasional Belanda di Piala Dunia 2014, yaitu membawa skuad De Oranje yang banyak diisi pemain-pemain baru hingga ke semifinal dan meraih juara ketiga. Namun pada kenyataannya, LVG pun kesulitan membawa United berjaya kembali. Pertanyaan pun muncul, apakan yang salah dengan Manchester United hingga mereka masih terpuruk dan belum mampu tampil perkasa lagi?
Louis van Gaal yang kesulitan mengangkat peforma Man. United.

Pada artikel ini, saya ingin melihat penyebabnya berdasarkan sudut pandang yang lain. Saya pernah mendengar bahwa seorang pelatih akan disebut sebagai pelatih yang sempurna jika ia telah meninggalkan warisan yang bagus untuk penerusnya, bukan sekedar mendulang sukses bagi dirinya sendiri. Warisan tersebut dapat berupa sistem atau taktik bermain yang telah dibangun lama, atau fondasi tim yang sudah mumpuni dan kuat. Penerus yang mengambil tongkat estafet kepelatihan akan lebih mudah meneruskan kegemilangan sebuah tim jika fondasi tim tersebut sudah kuat, juga diiringi dengan improvisasi darinya, baik dengan berbagai variasi taktik ataupun beberapa pemain baru untuk memperkuat skuad. Contoh yang paling sukses mungkin Johan Cruyff.
Johan Cruyff, warisannya selama melatih Barcelona sangat mempengaruhi kesuksesan Barca hingga saat ini.

Di mata saya, Sir Alex Ferguson sebenarnya merupakan orang yang dapat masuk kategori tersebut. Fergie merupakan pelatih yang handal dalam membangun skuad, bahkan beberapa kali setelah ditinggalkan oleh beberapa pemain bintang, dan membangun tim generasi baru dengan beberapa variasi taktik yang ditambahkan. Eric Cantona, David Beckham, Roy Keane, hingga Cristiano Ronaldo merupakan beberapa pemain bintang yang pada akhirnya meninggalkan Old Trafford. Tetapi, Fergie seolah tidak kehabisan akal untuk membangun kembali skuad yang ditinggalkan oleh key player mereka, hingga akhirnya United tetap stabil dan kembali mampu meraih gelar juara.
Cristiano Ronaldo, megabintang United yang dididik Fergie.

Contoh kehandalannya menambal skuad adalah kepergian Cantona yang sudah diantisipasi oleh para penyerang handal seperti Andy Cole, Dwight Yorke, Ole Gunnar Solskjaer, dan Teddy Sheringham yang berujung treble winners musim 1998/1999. Beckham yang hengkang digantikan oleh Ronaldo yang berbeda tipe dengan Becks, begitu juga dengan Roy Keane yang segera diganti dengan Michael Carrick yang berbeda karakter, dimana mereka berhasil menjadi komponen penting kesuksesan United merengkuh gelar juara Liga Champions 2007/2008. Hingga pada saat Ronaldo pergi, Fergie mampu membangun kembali timnya dengan gaya bermain yang lebih kolektif, berbeda dengan pada saat CR7 masih di dalam skuad, dimana United memiliki cara main yang cenderung terpusat pada dirinya sebagai key player.
Eric Cantona. Bahkan United meraih treble winners saat sudah ditinggal Cantona.

Namun, sejujurnya saya tidak melihat kelebihan Fergie tersebut pada saat ia pensiun. Apa yang saya pikir adalah, Fergie tidak mewariskan skuad yang cukup bagus dan cenderung biasa saja untuk dilanjutkan oleh penerusnya. Mungkin memang ia berhasil menjuarai EPL pada musim terakhirnya dengan skuad yang akan diwariskan tersebut. Namun saya juga menduga bahwa satu-satunya orang yang mampu menjalani sebuah musim dengan skuad seperti itu hanyalah dirinya, seperti yang pernah saya singgung, karena ia berbeda dengan pelatih-pelatih lainnya, bagaimana ia membangun kolektivitas tim yang mampu diwujudkan di atas lapangan, dan mental juara yang sangat kuat.
Starting XI Man. United saat menghadapi raksasa Spanyol, Real Madrid di babak 16 besar Liga Champions 2012/13.

Pada skuad warisannya, Fergie banyak menyisakan pemain senior seperti Rio Ferdinand, Nemanja Vidic, Patrice Evra, Darren Fletcher, dan Ryan Giggs. Namun terlihat bahwa usia tidak pernah berbohong. Para pemain tersebut seakan kehabisan napas sesaat setelah ditinggal Fergie di musim selanjutnya, dan gagal mengangkat prestasi United. Bahkan begitu juga seorang Robin Van Persie, pemain yang sangat diandalkan United di musim terakhir Fergie, dimana ia merupakan top skor EPL di musim tersebut yang juga merupakan musim perdananya di United. Bersama Moyes di musim selanjutnya, RVP terlihat kehilangan determinasi dan ketajamannya.
Rio Ferdinand (kiri) dengan mudahnya dilewati pemain sekelas Morgan Amalfitano (kanan) pada musim 2013/2014.
Robin Van Persie yang perlahan kehilangan determinasi dan ketajamannya pasca ditinggal Fergie.

Selain itu, banyak sekali nama-nama yang dinilai oleh banyak orang, termasuk saya, merupakan pemain medioker. Sebut saja duet gelandang Tom Cleverley dan Anderson. Entah mengapa mereka terlihat bermain baik dan stabil saat dimainkan Fergie, namun begitu hancur permainannya pasca ditinggal Fergie. Bahkan saat awal kemunculannya, saya pernah menganggap Cleverley merupakan penerus Paul Scholes. Ternyata, saat diturunkan Cleverley kerap mengecewakan dan seringkali hanya mampu melakukan side-pass dan back-pass. Begitupun Anderson yang memiliki postur yang tambun dengan permainannya yang tidak ada peningkatan berarti. Terdapat juga nama Johnny Evans, bek yang kerap teledor dan mempunyai hobby yang cukup sering dilakukan yaitu back-pass ke kiper. Ada pula Danny Welbeck, striker yang sebenarnya memiliki pergerakan yang baik namun seringkali melancarkan shooting yang lemah dan mengarah lurus kedepan kiper ataupun tidak terarah.
Cleverley, Welbeck (paling atas), Evans, dan Anderson. Sekarang mereka sudah tidak ada di skuad United.

Pemain warisan dengan nama besar seperti Wayne Rooney pun menjadi sorotan. Sebenarnya ia sempat ingin dijual oleh Fergie di penghujung musim pamungkasnya, 2012/2013. Mungkin Fergie melihat bahwa beberapa tahun terakhir Rooney sudah habis, kemampuannya sudah diujung tanduk dan tidak mampu berkembang lagi. Namun entah kenapa ia tidak jadi dijual, bahkan kontraknya diperpanjang dan diberi gaji tinggi, 300 ribu poundsterling per minggu oleh David Moyes. Dan menyedihkannya lagi, Rooney diplot Van Gaal menjadi kapten tim dan menjadi sering dimainkan walaupun performanya sudah menurun sangat drastis.
Wayne Rooney. Kapten United yang penampilannya belum kunjung membaik.

Terlihat bahwa terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhi performa United, Moyes jelaslah kesulitan jika diwarisi skuad seperti itu. Apalagi ia hanya membeli dua pemain, Marouanne Fellaini dan Juan Mata. Van Gaal juga pasti sangat pening melihat skuad peninggalan Fergie (dan Moyes), memaksa dirinya banyak melakukan perombakan pada skuadnya, termasuk membenahi sektor gelandang United yang rapuh. Sekali lagi saya tegaskan, dengan kondisi tim yang "biasa" seperti itu, hanya seorang Sir Alex Ferguson yang dapat memenangkan liga dengan skuad tersebut.
Membuat Tom Cleverley terlihat bermain bagus? Hanya Fergie yang bisa!

Saya sebenarnya tidak menyalahkan fondasi tim warisan dari Fergie sepenuhnya atas permasalahan United saat ini, karena sungguh banyak faktor yang menjadi penyebab keterpurukan The Red Devils. Van Gaal juga melakukan kesalahan dengan menjual beberapa pemain warisan Fergie yang saya rasa masih cukup bagus untuk United seperti Shinji Kagawa, Javier Hernandez, dan Rafael da Silva. Plus perombakannya yang tidak selalu berjalan mulus seperti saat ia mendatangkan Angel Di Maria, Radamel Falcao (pinjam), dan bisa jadi Memphis Depay, jika ia tidak belajar banyak dan hanya mengedepankan gaya dibandingkan skill.

Chiharito. Dibuang Van Gaal, lalu menjadi mesin gol bagi Bayer Leverkusen. Satu talenta telah disia-siakan LVG.

Angel Di Maria. Hanya bertahan semusim di United, hengkang, lalu bermain apik di Paris Saint-Germain. Mengapa bisa?

Memphis Depay, harus banyak belajar jika tidak ingin dicap flop oleh publik dan para fans United.

Fondasi warisan tim Sir Alex Ferguson memang tidak terlihat cukup bagus, dan bahkan cenderung rapuh, setidaknya menurut saya. Hal tersebut terbukti dari prestasi United yang menurun drastis semenjak ditinggalkannya, terlepas dari banyak faktor yang mempengaruhi. Berbagai perombakan telah dilakukan, terutama oleh Louis Van Gaal, dengan mendepak banyak pemain dan menggantikannya dengan belanja pemain secara besar-besaran serta mempromosikan beberapa pemain muda. Namun, justru sekarang LVG pun juga pening dengan apa yang ia sendiri lakukan di United, mengingat performa The Red Devils yang belum kunjung membaik, setidaknya hingga saat tulisan ini sedang dibuat.
LVG pasti sangat pening menghadapi tugasnya yang berat.



Sebagai salah satu dari sekian banyak fans Manchester United, saya hanya dapat berharap prestasi United dapat membaik lagi dan mampu menjuarai trofi kembali, seperti yang biasa terjadi di zaman Fergie. Siapapun yang menakhkodai The Red Devils, mudah-mudahan orang tersebut mampu melakukannya dan membuat fondasi tim yang kokoh untuk penerusnya, termasuk Van Gaal yang sedang berjuang mempertaruhkan reputasinya sebagai pelatih hebat. Satu hal yang saya belum singgung sepanjang artikel ini, LVG biasanya sukses meletakkan fondasi kuat di tim yang telah ditinggalkannya. Ingin contoh? Coba lihat Bayern Munich dan Barcelona sekarang.
LVG bersama Pep Guardiola, kapten Barcelona saat itu. Barca dan Munchen telah merasakan tangan dingin Pep dalam melatih.




P.S.: Mengapa saya berani menulis semacam ini? Kurang lebih karena saya telah terpengaruh artikel beberapa tahun yang lalu ini, silahkan klik kalimat ini dan baca.






Selasa, 28 Juli 2015

Golden Generation Inggris yang Gagal di Piala Dunia 2006


Tim nasional sepakbola Inggris terkenal dengan keunikannya yang ironis. Di tengah berkibarnya liga kebanggaan mereka, English Premier League yang berlangsung ketat dan memiliki klub-klub terbaik di Eropa seperti Manchester United, Arsenal, Chelsea, dan Liverpool, justru timnas Inggris sedang puasa meraih gelar juara. Peristiwa skuad The Three Lions meraih trofi terjadi sudah terlalu lama, yaitu pada Piala Dunia 1966 yang diselenggarakan di negara mereka sendiri. Itupun diraih dengan cara yang agak kontroversial, yaitu ketika gol Geoff Hurst pada extra-time disahkan oleh wasit, padahal bola sepakannya berada dalam posisi 50-50 di garis gawang setelah membentur tiang atas. Inggris pada akhirnya menjungkalkan Jerman Barat 4-2 untuk menjadi juara dunia, yang belum mampu mereka ulangi hingga saat ini.
Kapten Inggris Bobby Moore mengangkat trofi Piala Dunia, yang masih dalam bentuk versi terdahulu, pada tahun 1966

Di tengah rasa frustasi publik Inggris untuk mengulangi kejayaan mereka di masa lampau tersebut, terdapat secercah harapan memasuki millenium baru. Ya, di timnas Inggris bermunculan pemain-pemain hebat, dimana mereka digadang-gadang sebagai golden generation. Para punggawa Inggris di era tersebut banyak meraih kesuksesan dan trofi-trofi serta menjadi tulang punggung di klubnya masing-masing, seperti David Beckham, John Terry, Rio Ferdinand, Frank Lampard, Steven Gerrard, dan lain-lain. Seiring dengan trofi-trofi yang mereka raih di tingkat klub, publik Inggris pun langsung berekspektasi besar dan berharap banyak kepada golden generation Inggris ini untuk dapat juga meraih prestasi di The Three Lions dan mampu merengkuh gelar juara untuk negara mereka. Di timnas, mereka ditangani oleh Sven-Gorran Eriksson, manajer pertama yang berasal dari luar Inggris.
Sven-Gorran Eriksson, manajer timnas Inggris 2001-2006.

Sven-Gorran Eriksson mengawali debut di turnamen resmi bersama Inggris pada ajang Piala Dunia 2002 di Jepang-Korea, dimana Tim Tiga Singa dipercundangi tim yang selanjutnya menjadi jawara, Brazil dengan skor 2-1 pada perempat-final. Lalu pada ajang selanjutnya, Euro 2004 di Portugal, pelatih berkebangsaan Swedia itu juga hanya mampu mengulangi langkah skuadnya di Jepang-Korea, yaitu babak perempat-final. Inggris ditundukkan tuan rumah Portugal melalui adu penalti.
Momen saat David Beckham gagal mengeksekusi penalti pada perempat-final Euro 2004

Setelah kegagalan Euro 2004, Eriksson langsung menatap Piala Dunia 2006 di Jerman. Ia pun berhasil membawa Inggris lolos kualifikasi untuk bertarung di negeri yang sempat terpecah menjadi Jerman Barat dan Timur tersebut. Eriksson tersadar bahwa saat itu dirinya sedang diberi anugerah. Ya, golden generation Inggris yang telah bermunculan dianggap sudah lengkap, matang, cukup mumpuni, dan siap untuk memperebutkan juara dunia. Walhasil, The Three Lions dianggap menjadi salah satu unggulan terkuat pada Piala Dunia 2006. Ekspektasi masyarakat Inggris langsung membumbung tinggi, dan berharap banyak timnas mereka dengan golden generation yang berada di dalamnya, mampu meraih gelar juara dunia yang sudah lama tidak dapat diraih. Di ajang inilah golden generation Inggris telah benar-benar diharapkan meraih kejayaan.
Starting eleven Inggris yang bertabur bintang

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sebenarnya, siapa sajakah golden generation Inggris pada Piala Dunia 2006 ini? Apakah mereka memang cukup kuat? Secara individual mereka memang merupakan pemain-pemain hebat di klub masing-masing. Mari kita lihat satu-persatu starting-eleven terbaik golden generation Inggris dengan formasi 4-4-2 ala Inggris, dilengkapi dengan keterangan umur dan klub pada saat itu.

Kiper

Paul Robinson (26 tahun, Tottenham Hotspur)


Pada saat itu, Paul Robinson adalah kiper utama Tottenham Hotspur. Namun, tanpa mengurangi rasa hormat kepadanya, ia dianggap menjadi titik lemah Inggris pada Piala Dunia 2006. Tetapi Eriksson tetap mempercayai Robinson menjaga gawang The Three Lions, menyingkirkan kiper senior David James dan pemain muda Scott Carson. Eriksson menganggap Robinson sebagai kiper terbaik Inggris saat itu, yang setidaknya lebih baik dibandingkan kompetitor-kompetitor lainnya.

 Bek Kanan

Gary Neville (31, Manchester United)


Gary Neville merupakan salah satu pemain senior yang dibawa Eriksson ke Jerman. Diharapkan pengalamannya yang banyak dapat ditularkan ke pemain-pemain lain. Di klubnya, Manchester United, Neville adalah bek kanan inti yang telah mencicipi banyak trofi seperti EPL, Champions League, Piala FA, dan lain-lain. Neville terkadang juga menjadi kapten United. Ia memiliki kemampuan bertahan dan menyerang yang sama baiknya. Di saat kapten tim David Beckham tidak bermain di atas lapangan, dirinyalah yang menggantikan peran Becks sebagai pemimpin skuad.

 Bek Tengah

Rio Ferdinand (27, Manchester United)


Rio Ferdinand adalah rekan setim Neville di Manchester United yang sama-sama berposisi di lini belakang. Pemain yang direkrut The Red Devils dari Leeds United ini terkenal sebagai bek bertubuh tinggi besar yang tangguh, dan memiliki keunggulan pada ketenangan, marking kepada lawan, duel-duel udara, serta kemampuannya dalam membaca permainan dan arah pergerakan lawan. Di Piala Dunia 2006, ia termasuk salah satu dari beberapa pemain yang selalu dijadikan starter oleh Eriksson.

 John Terry (25, Chelsea)


Bersama Ferdinand, John Terry membangun tembok kokoh yang selalu memastikan gawang Inggris aman dari serangan-serangan lawan. Terry terbang ke Jerman setelah memenangi trofi EPL musim 2005/06 bersama Chelsea. Sebagai bek tengah handal, Terry merupakan bek yang lugas, memiliki tackle yang baik dan tidak kenal kompromi kepada musuh. Selain itu, dirinya juga memiliki jiwa kepemimpinan yang baik. Hal tersebut terbukti oleh ban kapten Chelsea yang disandangnya.

 Bek Kiri

Ashley Cole (25, Chelsea)



Ashley Cole merupakan rekan setim Terry di Chelsea, dan membentuk kombinasi Chelsea dan Manchester United bersama Ferdinand dan Neville di lini belakang Inggris. Cole dikenal memiliki permainan yang agresif dalam bertahan, berani melancarkan tackle ke lawan, dan sangat aktif naik membantu penyerangan timnya. Mantan pemain Arsenal ini sering bahu-membahu bersama sayap kiri dalam membangun serangan dan menyerang ke sisi kanan pertahanan lawan.

Gelandang Kanan

 David Beckham (31, Real Madrid)


Inilah pemain Inggris yang paling banyak mendapatkan sorotan di Piala Dunia 2006. David Beckham adalah kapten dan pemimpin skuad The Three Lions saat bertarung di atas lapangan hijau demi nama Inggris. Becks memiliki kemampuan mengeksekusi bola-bola mati yang menakjubkan. Free-kick dengan gaya khasnya menjadi senjata andalan eks punggawa Manchester United ini dalam membobol gawang lawan. Selain itu, Becks juga mahir dalam melancarkan crossing dan mengambil corner kick, untuk meneror lini belakang lawan lewat udara, yang siap disambut oleh pemain Inggris lainnya.

Gelandang Tengah

Steven Gerrard (26, Liverpool)




Skuad Inggris saat itu memiliki banyak pemain yang terkenal dengan jiwa kepemimpinan. Selain Neville, Terry, dan Beckham, terdapat nama Steven Gerrard. Dirinya merupakan kapten sekaligus ikon Liverpool. Gerrard terkenal sebagai gelandang energik yang kerap mencetak gol melalui tendangan geledeknya. Selain itu, ia memiliki kemampuan passing yang baik, dapat mengatur tempo permainan, sekaligus mampu sesekali menjadi holding midfielder yang menjaga kedalaman tim dan mampu membantu pertahanan.

Frank Lampard (27, Chelsea)




Hanya segelintir tim nasional di dunia yang memiliki duet gelandang sekaliber Gerrard dan Frank Lampard. Lampard memiliki keunggulan sebagai gelandang yang hampir-hampir mirip dengan Gerrard. Gelandang andalan Chelsea ini merupakan gelandang box-to-box yang dapat melepaskan umpan-umpan akurat baik pendek maupun panjang, mengatur tempo permainan seperti Gerrard, dan memberi assist kepada striker. Tidak ketinggalan, Lampard adalah gelandang yang subur, sering mencetak gol dengan shooting kerasnya ataupun positioning dirinya yang terkenal baik dan sering muncul di depan gawang secara tidak terduga.

Eriksson sangat sering menurunkan Lampard dan Gerrard secara bersamaan untuk memperkuat lini tengah dan menciptakan peluang mencetak gol mengingat keduanya merupakan gelandang kreatif serta rajin pula mencetak gol.

Gelandang Kiri

Joe Cole (24, Chelsea)


Selain mengisi posisi gelandang kiri, Joe Cole juga dapat berperan sebagai gelandang kanan dan gelandang serang. Hal tersebut membuatnya menjadi salah satu pemain penting di Chelsea, dan dipercaya Eriksson untuk tampil di Piala Dunia 2006. Gelandang yang bertubuh cukup mungil ini memiliki kecepatan dan kelincahan dalam menyisir sisi lapangan dan cut-inside ke kotak penalti lawan, dibarengi dengan kemampuan mencetak gol yang baik.

Striker

Michael Owen (26, Newcastle United)



Pada Piala Dunia 1998 lalu, Michael Owen yang masih berusia 18 tahun menggemparkan dunia melalui gol solo-run nya ke gawang Argentina. Setelah momen tersebut, dirinya menjadi andalan di klubnya dan timnas Inggris. Owen terkenal sering menggunakan kecepatan dan kelincahannya dalam menembus pertahanan lawan. Ia juga memiliki finishing yang bagus. Meskipun rentan cedera, Owen tetap dibawa Eriksson dan diplot sebagai salah satu dari dua penyerang utama.

Wayne Rooney (20, Manchester United)




Wayne Rooney merupakan 'bocah ajaib' Inggris lainnya yang muncul setelah Owen. Menjelang umur 17 tahun ia sudah mencetak gol di EPL. Wazza sempat memecahkan rekor pencetak gol termuda untuk timnas Inggris dan termuda di ajang Euro 2004. Ia pun menjadi andalan Manchester United setelah The Red Devils merekrutnya dari Everton. Rooney merupakan striker eksplosif yang kreatif dan energik. Kemampuan utama dirinya adalah mengkombinasikan kekuatan fisiknya dengan skill dan teknik mengolah bolanya. Selain itu, Wazza memiliki penyelesaian akhir yang baik.


Selain sebelas pemain diatas, skuad Inggris yang dibawa Eriksson ke Jerman masih memiliki nama-nama mentereng lainnya seperti Owen Hargreaves, Sol Campbell, Peter Crouch, Michael Carrick, dan Jamie Carragher.

Michael Carrick, gelandang yang mempunyai visi bermain yang baik

Striker jangkung Inggris Peter Crouch, yang menjadi andalan dalam serangan melalui umpan lambung


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sebuah skuad yang kuat bukan? Wajar jika publik Inggris saat itu berharap lebih kepada timnas mereka. Suporter The Three Lions sudah sangat rindu dan penasaran akan gelar juara Piala Dunia, yang mungkin sebagian besar dari mereka belum pernah menyaksikan langsung para punggawa The Three Lions mengangkat trofi Piala Dunia, karena sudah sangat lama timnas Inggris meraihnya.
Suporter timnas Inggris yang rindu gelar juara

Namun, yang terjadi di Jerman lagi-lagi tidak sesuai harapan. Penampilan mereka masih kurang memuaskan. Walaupun memiliki kualitas individual yang baik, Inggris tidak mampu bermain baik sebagai sebuah tim yang solid.
Dan sekali lagi mereka keok di perempat-final dengan lawan yang sama pada Euro 2004 kemarin, Portugal. Dengan cara yang sama, adu penalti, yang memang menjadi momok bagi Inggris. Pertandingan tersebut diwarnai oleh insiden kartu merah Wayne Rooney. Rooney harus diusir oleh wasit Horacio Elizondo setelah menginjak bek Portugal, Ricardo Carvalho. Ironisnya, keputusan kartu merah tersebut disinyalir terdapat pengaruh dari winger Portugal dan rekan Rooney di Man. United, Cristiano Ronaldo, yang pada saat itu seolah "memanas-manasi" wasit. Pada babak adu penalti, kiper Portugal, Ricardo mampu menahan tendangan dari Lampard, Gerrard, dan Carragher.
Rooney mendapatkan hadiah kartu merah



Lampard, Gerrard, dan Carragher yang gagal mengeksekusi penalti.

Hal tersebut benar-benar memukul telak publik Inggris yang berekspektasi begitu tinggi terhadap timnas mereka yang diisi oleh para pemain bintang yang berjuluk golden generation. Sven-Gorran Eriksson lantas mendapatkan julukan baru, yaitu 'spesialis perempat-final' karena telah melakukan hattrick dalam membawa The Three Lions ke babak tersebut, yaitu pada Piala Dunia 2002, Euro 2004, dan Piala Dunia 2006. Eriksson pun akhirnya meletakkan jabatannya sebagai manajer timnas Inggris seusai Piala Dunia 2006 berakhir. Musnah sudah perjuangan golden generation Inggris untuk membawa negaranya menjadi juara dunia yang kedua kalinya.



Selasa, 21 Juli 2015

Michael Carrick, (Bukan) Penerus Roy Keane

Michael Carrick, gelandang andalan Manchester United.

Hari Jumat, tanggal 28 Juli 2006 menjadi salah satu hari bersejarah bagi seorang Michael Carrick. Tepat hari ulang-tahun ke 25-nya, tim tempatnya saat itu bermain, Tottenham Hotspur, menyetujui transfer dirinya ke klub besar Inggris, Manchester United. Tiga hari kemudian, dirinyapun telah rampung menyelesaikan kepindahan dirinya setelah menyetujui kesepakatan kontrak dengan The Red Devils. Biaya transfer yang harus dibayarkan United adalah sebesar 18,6 juta Poundsterling.

Carrick tentu langsung berbahagia. Peristiwa hijrahnya pemain berposisi gelandang tersebut ke klub sebesar United, yang memiliki sejarah panjang dan mengkoleksi banyak trofi, merupakan mimpi bagi sebagian besar pesepakbola di dunia.
Carrick saat baru hijrah ke United.

Carrick langsung diberi nomor punggung 16 oleh manajer United, Sir Alex Ferguson. Nomor tersebut bukanlah nomor main-main, karena sebelmnya telah dipakai oleh mantan kapten United yang kharismatik dan memiliki karakter kuat, Roy Keane. Pembelian Carrick pun bermaksud untuk menggantikan Keane, yang memutuskan hijrah dari United. Selanjutnya, beban beratpun langsung menghampiri pemain yang diorbitkan oleh West Ham United ini.
Nomor 16 diberikan ke Carrick

Hingga saat tulisan ini dibuat (Juli 2015), Carrick telah memiliki karier yang cemerlang bersama United. Dirinya telah mempersembahkan lima gelar juara EPL dan trofi Community Shield, serta sebuah trofi Piala Liga, Champions League yang merupakan kejuaraan kasta tertinggi di Eropa, dan FIFA Club World Cup, ajang yang mempertemukan juara pada masing-masing benua.
Carrick telah mengangkat trofi Champions League pada 2008

Namun, di tengah kegemilangan kariernya bersama United, benarkah dirinya merupakan penerus Roy Keane, sang mantan skipper The Red Devils yang terkenal dengan jiwa petarungnya namun dibarengi dengan sifat emosional yang meledak-ledak?
Roy Keane, mantan kapten United

Jawaban yang paling tepat adalah bukan. Carrick mungkin merupakan gelandang yang berposisi sama dengan Keane, yakni gelandang bertahan. Mereka berdua sama-sama bertugas untuk memotong serangan lawan, menjadi back-up bagi bek-bek dibelakangnya, serta menjadi penghubung antara lini belakang dengan lini tengah dan depan. Tetapi, terdapat satu perbedaan jelas antara Carrick dengan Keane. Sebelum menjawab perbedaan itu, mari kita tinjau secara singkat tentang posisi gelandang bertahan.
Posisi natural gelandang bertahan

Gelandang bertahan merupakan pemain yang bertanggung jawab dalam memutus serangan lawan, karena fungsi gelandang bertahan adalah menjadi filter pertama serangan lawan dan menghentikannya sebelum menjadi ancaman bek-bek dibelakangnya. Seorang gelandang bertahan berdiri agak dibelakang gelandang lainnya, dan berada pas di depan bek rekan setimnya. Jika kita membayangkan seorang gelandang bertahan, akan terlintas di pikiran kita adalah pemain beringas, cenderung bermain keras, dan tidak jarang menjadi pengkoleksi kartu dari wasit akibat cara bermainnya yang seringkali kasar. Contoh mudah gelandang bertahan yang terkenal dengan "kesangarannya" adalah Gennaro Gattuso, Edgar Davids, Nigel De Jong, Patrick Vieira, dan Roy Keane sendiri.
Tackle horror Roy Keane yang langsung mengakhiri karier Alf-Inge Haaland


Namun, tidak bagi Michael Carrick. Dirinya memang seorang gelandang bertahan utama United sejak ditinggal Roy Keane. Namun, sifat-sifat yang biasa dimiliki seorang gelandang bertahan nampak tidak ada dalam setiap permainan Carrick. Pemain internasional Inggris ini selalu bersikap tenang selama bermain, tidak suka terpancing emosi, dan jarang bermain kasar terhadap lawannya. Baginya, cara yang paling efektif untuk memutus serangan lawan adalah dengan intercept, yang diawali dengan pengambilan posisi yang tepat untuk menghadang lawan. Tackle, apalagi sliding tackle, merupakan opsi terakhirnya, dan dilakukan jika ia kalah adu lari dengan pemain lawan.
Dalam melakukan tackle, Carrick selalu berhati-hati agar tepat sasaran dan tidak menerima hukuman kartu

Selain itu, Carrick juga merupakan seorang deep-lying playmaker, gelandang yang berposisi agak ke dalam namun bertugas dalam menjaga possesion, mengatur ritme permainan dan mengirimkan umpan-umpan akurat ke depan. Mirip dengan tugas Andrea Pirlo. Rasio umpan suksesnya pun sangat tinggi bahkan tidak jarang menyentuh angka 90% keatas.
Aksi Michael Carrick merebut umpan dari lawan

Mungkin Carrick bukan merupakan sosok yang sama persis dengan Roy Keane, walaupun dirinya berposisi sama dengan Keane dan memakai jersey bernomor punggung 16 warisan dari pemain berkewarganegaraan Irlandia tersebut. Banyak orang yang tidak melihat sama sekali sosok dan jiwa Roy Keane di dalam permainan Carrick.
Namun, untuk menjadi pemain hebat, kita tidak perlu menjadi orang lain. Menjadi seseorang yang berbeda dengan yang lainnya merupakan sesuatu yang menurut saya lebih baik daripada hanya meniru mentah-mentah apa yang menjadi ciri khas orang lain. Dan inilah yang ditunjukkan oleh Carrick, seorang gelandang bertahan yang kalem, tidak beringas maupun bersifat emosional. Jelas, Carrick bukanlah the next Roy Keane, karena dirinya akan menjadi seorang Michael Carrick sendiri, dengan gaya permainan yang khas.